Sabtu, 21 Juli 2012

Cerita-cerita

Ini cerita sahabat sayapada waktu dia sedang lihat-lihat tas di toko yang terletak pada pasar di Ibukota.


A(sahabat) : Bang tasnya warna orange doang ya.
B (penjual) : Iya bang, khan ini warna the jak(persija). Abang dari mana sie?
A : dari jawa bang, tapi lama di Jakarta kok.
B : bukan dari bandung ya???
A : bukan bang, dari P*********, ya udah bang lihat-lihat dulu ya. makasih.(langsung kabur)

Ketika saya mendengar itu, yang ada dalam pikiran hiperbola saya, coba kalo sahabat saya itu memang berasal dari Bandung bakal dikasih warna biru tuh....... tapi di badannya.. hehehehehe

Jumat, 20 Maret 2009

Antareja & Antasena



Antareja-Antasena : Jalan Kematian Para Kesatria

“Dibutuhkan pengorbanan untuk selalu mengingatkan mereka agar selalu bangkit dari titik rendah itu…..” (Antareja)

Di sebuah bazar buku, saya beli novel pewayangan yang berkisah tentang Antareja dan Antasena. Dari sejak kecil saya selalu tertarik dengan kisah-kisah pewayangan. Kisah Antareja dan Antasena tidak ada dalam wayang versi India, mereka hanya tokoh wayang yang muncul dalam wayang versi Jawa. Antareja dan Antasena bukan merupakan tokoh sentral dalah kisah pewayangan Mahabarata sehingga jarang ada cerita tentang mereka.
Antareja merupakan anak sulung dari Raden Bima dengan Dewi Nagagini. Dalam kisah wayang diceritakan Antareja merupakan kesatria yang memiliki kesaktian luar biasa. Dalam perjalanan hidupnya dia memilih meninggalkan jalan hidup kesatria untuk menjadi pertapa. Antasena merupakan anak bungsu Raden Bima dengan Dewi Urang Ayu. Antasena diceritakan sebagai kesatria yang memilih jalan hidup mengembara bebas tanpa terikat untuk memaknai kehidupan dan pengabdiannya dalam mencari sang pencipta, karena yang dianggap mampu membuat apapun yang dia mau menjadi kenyataan.
Pengarang buku ini Mas Pitoyo Amrih, mencoba menceritakan versi sedikit berbeda dalam pakem wayang dari kisah Antareja dan Antasena. Ada tiga tokoh utama dalam novel ini, yaitu Kresna, Antareja dan Antasena.

“Tugas ini terlalu berat bagi hamba, pukulun,….”

Novel ini menceritakan kisah kebimbangan Kresna dalam melaksanakan tugas sang Sang Hyang Guru untuk menjauhkan keterlibatan Antareja dan Antasena dalam perang Baratayudha agar perang berlangsung adil. Biasanya dalam cerita wayang saya jarang menemukan sisi emosional Kresna sebagai penasihat dari Pandawa, karena tokoh ini digambarkan merupakan tokoh cerdik serta tidak ragu-ragu dalam menjalankan rencana-rencananya untuk membela Pandawa. Tapi dalam cerita ini saya menemukan sisi emosional Kresna ketika harus menjalankan tugas dari Sang Hyang Guru.
Dalam beberapa bab digambarkan Kresna mengalami tekanan yang sangat berat ketika harus melakukan tugas ini, sampai sempat berpikir untuk mbalelo pada Sang Hyang Guru.
Tapi justru dari Antasena dan Antareja, akhirnya Kresna belajar dan diingatkan tentang bagaimana menjalani kehidupan serta tugasnya dalam dunia wayang. Saya sendiri mendapat banyak hal yang bisa saya renungkan dengan membaca cerita ini. Terutama tentang bagaimana terkadang kita perlu bersyukur pernah mengalami titik terendah dalam hidup kita, maka ketika kita mampu bangkit dari titik terendah itu akan menjadi sebuah kekuatan baru untuk mencapai titik yang lebih tinggi dari sebelumnya.

“….tugas saya tidaklah lebih mulia….”

Antareja merupakan tokoh yang mencari untuk apa tujuan hidup. Dia merasa kesaktian luar biasa yang bukanlah sesuatu yang dapat digunakan mencapai tujuan hidup. Di awal kemunculannya di novel ini, diceritakan Antareja mengungkapkan adalah sebuah kebanggaan ketika manusia bisa berkorban untuk memperjuangkan sesuatu yang berharga. Dia merasa menjadi tanpa tanding bukanlah sebuah kebanggaan. Selain itu dia merasa perang dan pembunuhan yang sudah dia lakukan bukanlah sesuatu yang dapat dia banggakan.
Dalam novel ini banyak dialog Antareja yang menunjukan kematangan seorang resi bukan seorang kesatria. Dari dialog-dialog yang di lontarkan oleh Antareja kita bisa banyak merenung tentang lakon kehidupan yang kita jalani.
Salah satunya adalah kemauannya untuk belajar kehidupan dari segala macam sumber. Antareja mau turun untuk bercakap-cakap dengan para prajurit pihak pandawa yang sedang bersiap-siap di padang kurusetra. Bahkan dia mau “berkunjung” ke markas musuh untuk menyelami bagaimana kondisi dan perasaan prajurit sebelum pertempuran.
Diakhir hidupnya, Antareja pun membuat pilihan yang menurut saya tetap menempatkan Antareja sebagai tokoh tanpa tanding yang mau menjalani takdirnya menjadi tumbal perang untuk menyemangati prajurit yang akan berperang.

“Kapan saya harus berhenti….???”

Tokoh Antasena dalam novel ini tidak banyak dimunculkan. Tapi yang jelas diceritakan sosok Antasena merupakan sosok yang mengembara dan tidak mau terikat dengan hal-hal duniawi. Dalam melakukan pengembaraannya dia selalu coba memaknai peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Di novel ini diceritakan bagaimana dia coba memaknai pertemuannya dengan seekor kura-kura.
Setelah membaca buku ini, saya menafsirkan sosok Antasena sebagai sosok yang sudah bosan dengan perjalanan hidupnya sebagai manusia. Maka dia mencari alasan yang tepat untuk menghentikan takdirnya sebagai manusia dan mencoba takdir kehidupan lain.
Pilihan Antasena dalam cerita ini turut berpengaruh pada banyak peristiwa lain di luar perang Barathayuda.

Bayangan kehidupan

Bagi saya membaca cerita dunia wayang selalu membawa sebuah kesenangan dan tentu saja juga dengan novel ini. Selain kesenangan, saya memperoleh permenungan tentang hidup. Menurut saya cerita wayang merupakan cerita tentang kehidupan, melalui wayang kita diajak untuk membaca dan merenungi kehidupan.
Saya menganggap wayang seperti bayangan kehidupan, meskipun bukan realitas yang sebenernya tapi wayang merefleksikan kehidupan.
Membaca novel ini tidak akan membawa kerugian apapun, novel ini merupakan bacaan ringan dan bagi yang tidak mengetahui wayang saya pikir membaca buku ini juga tidak akan mengalami kesulitan karena pengarang, cukup mendeskripsikan penokohan dengan baik sehingga pembaca mudah mengikuti cerita dalam novel ini.
Menurut saya mas Pitoyo Amrih dalam menuliskan kembali cerita antareja dan antasena sangat menarik karena dapat membuat pembacanya tak bisa berhenti membaca sampai novel ini habis. Interpretasinya atas cerita pakem wayang juga menarik, sehingga tokoh-tokoh wayang dalam novel ini menjadi hidup dan membumi.
(Pwt, 21 Maret 2009)